Review Novel Orang-orang Oetimu Karya Felix K. Nesi dan Persamaanya dengan Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan

 



Judul        : Orang-orang Oetimu

Penulis     : Felix K. Nesi

Halaman   : 220 hlm

Penerbit    : Marjin Kiri

Terbit        : Cetakan 1, 2019

Nilai         : 7,8 / 10

 

PERHATIAN:

Review ini sangat-sangat mengandung spoiler, apabila kamu belum baca bukunya, jangan salahkan penulis di kolom komentar. Cukup disalahkan dalam batin saja, setuju?

 

“Saat turun dari kudanya dan melihat seorang perempuan menangis ... dikelilingi oleh ... ksatria-ksatria berwajah lapar seolah ingin memangsanya, jatuh ibalah ia ( Am Siki) kepada perempuan itu.”

(hal, 44)

 

Begitulah Felix mendeskripsikan pertemuan Laura kepada Am Siki untuk pertama kalinya. Akan tetapi sebelum pertemuan di depan sebuah kedai yang disaksikan oleh umat satu kampung tersebut, beginilah asal mulanya;

Pada suatu masa ada gadis jelita bernama Laura, ia merupakan keturunan Portugis yang mengikuti ayahnya, Julio yang ditugaskan di timor leste. Akan tetapi karena satu alasan, Julio kemudian menjadi pemberontak sehingga ia dan istrinya dieksekusi mati. Tidak cukup sekedar melihat kejadian naas tersebut, Laura gadis yang masih belia itupun turut di tangkap, disiksa dan diperkosa. Disiksa dan diperkosa. Disiksa dan diperkosa. Setidaknya begitulah gambaran yang kita dapat dari novel Orang-orang Oetimu ini. Lalu kemudian ia pun hamil dan melahirkan seorang anak yang kemudian dikenal dengan sebutan Sersan Ipi. Lalu setelah peranya dalam novel selesai Laurapun mati atau dimatikan. Mengenaskan!

Dari sini cerita kemudian terpusat menjadi dua bagian, pertama mengikuti kisah Sersan Ipi yang dibesarkan dalam asuhan Am Siki. Sersan Ipi dikenal sebagai pribadi yang kasar dan tangguh, baik dalam hal fisik maupun kejantanan. Di kemudian hari ia berencana menikahi Silvy, gadis muda yang merupakan orang paling cantik dan cerdas di semesta Orang-orang Oetimu.

 Kedua, cerita berpusat pada seorang pastor muda yang cekatan serta melankolis yang dipanggil Romo Yosef. Mulanya ia mengikuti jalan Tuhan dan hendak menjadi pastor, namun pertemuan dirinya dengan Maria seorang aktivis muda yang tegas membuatnya jatuh cinta. Ketika ia hendak memutuskan untuk berhenti menjadi pastor, Maria malah menghilang dan melarikan diri sebelum akhirnya bertemu kembali sebagaimana yang terjadi pada Avatar Ang. Sayangnya Maria telah menikah dengan lelaki lain. Tapi, yang namanya cinta tetap tertanam dalam hati si pastor malang tersebut.

Sepeninggal suaminya Maria, Romo Yosef kembali mendekati perempuan itu. Ketika berciuman, Mariapun pergi lagi. Kabur seperti sebelumnya, tetapi tidak untuk menikah dengan orang lain, melainkan untuk bunuh diri dan kemudian mati. Meskipun begitu, nama Maria masih tersimpan di hati kecil Romo Yosef. Sungguh lelaki yang malang nasibnya.

Apabila membicarakan novel Orang-orang Oetimu rasanya sulit untuk melepaskan dari bayang-bayang novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan. Keduanya memiliki kisah yang cukup serupa dengan gaya penulisan yang bisa dibilang identik, minsalnya saja kehadiran perempuan yang malang dan dijadikan korban pemerkosaan lalu hamil dan kemudian mati atau juga bestialitas (dengan kuda dalam Orang-orang Oetimu dan ayam dalam Cantik itu Luka), dan banyak lainya lagi yang nantinya akan saya kaitkan satu per satu dan bertahap.

 Karena kemiripan-kemiripan ini apabila kedua novel ini hadir di tengah-tengah arus kesusastraan Indonesia dengan nama pena yang sama, maka kita akan percaya bahwa penulisnya memanglah orang yang sama. Akan tetapi seperti yang diketahui, Felix K. Nesi dan Eka Kurniawan bukanlah satu figure dalam nama yang terpisah. Kendatipun begitu dalam tulisan ini saya akan banyak membandingkan kedua novel tersebut baik melihat persamaannya maupun keunikan dari setiap ceritanya.


Cover Novel Cantik itu Luka Karya Eka Kurniawan


Novel etnografis dalam pelajaran sejarah

 

Secara umum kedua novel ini, yaitu Orang-orang Oetimu dan Cantik itu Luka memiliki kesamaan dalam tema cerita. Keduanya berisikan perjalanan orang-orang yang berada di pinggir peradaban nasional namun bagaimanapun mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kedua tempat kecil itu, Oetimu maupun Halimunda terkena dampak dari sejarah Indonesia yang panjang, baik itu semenjak masa kolonialisme bangsa asing maupun pemberantasan PKI yang dilakukan oleh Orde Baru.

Akan tetapi dalam novel Orang-orang Oetimu ada satu perjalanan bangsa yang sering kita dengar namun tidak banyak kita pahami yaitu masuknya Indonesia dalam perang Seroja di Timor-timor. Hal inilah lokalitas yang tidak dimiliki oleh daerah lain termasuk kota fiksi Halimunda-nya Eka Kurniawan sehingga dapat dikatakan dalam penulisan etnografi, Orang-orang Oetimu lebih berhasil. Kelebihan ini juga yang kemudian membuat saya secara pribadi  lebih menyukai cerita yang ditawarkan oleh Felix K. Nesi dibandingkan Eka Kurniawan. Meskipun ada hal-hal lain juga yang membuat saya lebih menyukai Orang-orang Oetimu seperti cara sejarah ditampilkan dalam novel tersebut. Salah satunya adalah penceritaan sejarah.

Meskipun sejarah memiliki banyak akar, yang artinya dapat berubah-ubah tergantung siapa yang menceritakan sebagaimana kemudian diisyaratkan oleh Felix dalam novelnya. Sehingga dengan begitu sejarah yang diceritakan dalam kedua novel ini tidak dapat serta merta kita amini kebenaran, terlebih pula keduanya merupakan produk fiksi dibandingkan esai sejarah. Akan tetapi Orang-orang Oetimu terasa begitu nyata dan hidup sedangkan Cantik itu Luka sendiri sangat imaginatif.

Terlebih lagi novel Felix K. Nesi memiliki refleksi yang kuat tentang sejarah sebagai inti ceritanya sebagaimana yang ia tuliskan:

 

“Makanya, kalau tidak percaya kepada cerita bangsa sendiri, jangan dengarkan juga omong kosong orang lain.”

(hal 216)

 

Kalimat ini mengisyaratkan bahwa sejarah adalah hal penting bagi bangsa ataupun masyarakat yang mengalami sendiri kejadian masa lampau tersebut. Selama ini kita sering mendengarkan sejarah Timor-timor dari buku-buku sejarah di pelajaran sekolah atau lainya, akan tetapi seberapa banyak karya sejarah itu dituliskan oleh orang NTT sendiri? Hal itulah yang rasanya ingin disinggung oleh pengarang. Meskipun refleksi ini tentunya tidak terbatas pada lokalitas di Oetimu saja, akan tetapi sangat universal, dengan kata lain berkaitan dengan seluruh sejarah yang ada di dunia sebagaimana metafora yang diceritakan dalam penutup Orang-orang Oetimu. Sejarah bisa berubah tergantung siapa yang menceritakan, dan dalam banyak kasus, tergantung kepentingan apa orang yang menceritakanya.

 

Lugas dan Memikat

 

Orang-orang Oetimu memiliki cerita yang sangat bagus, meskipun dalam gaya penulisan dan cara penyampaian cerita, Cantik itu Luka terasa lebih unggul. Dalam novel Eka Kurniawan tersebut kita telah dibuat takjub bahkan dengan kalimat pertama saja. Kemudian hingga beberapa halaman pun saya masih merasa sihir dari kata-kata Eka Kurniawan.

Akan tetapi Orang-orang Oetimu tidak begitu. Ketika pertamakali membaca di halaman pertama, kedua, ketiga, dan keempat saya belum merasakan ada yang spesial dari cara penulis merangkaikan kata-kata. Bahkan pada bab-bab awal cerita, saya seperti membaca sebuah literatur sejarah ketimbang sebuah novel. Akan tetapi semakin berjalan dan berkembangnya cerita, Orang-orang Oetimu benar-benar berhasil memikat pembaca.

Cerita yang dibawakan terasa begitu cepat dengan bahasa yang lugas. Tidak terlalu banyak kiasan dalam untaian katanya. Hal ini bisa berarti nilai baik bagi sebagian pembaca dan juga kekurangan, sangat subjektif sekali. Akan tetapi saya sendiri melihat bahwa cerita seperti ini memiliki keunggulan dalam cerita yang disampaikan ketimbang bagaimana cara pengarang hendak menyampaikan ceritanya.

Meskipun begitu, dalam penyusunan plot cerita Felix terbilang cukup berhasil. Kita terbawa dalam satu kejadian kepada kejadian yang lain pada waktu yang paralel.

 

Jiwa-jiwa yang Lemah

 

Kelemahan terbesar dari novel ini sepertinya terdapat pada karakter yang ada di dalam cerita. Beberapa tokoh sepertinya tidak diikuti dengan pembangunan karakter yang kuat. Sebut saja misalnya Laura, gadis yang membawa Sersan Ipi pada dunia di Kampung Oetimu. Kita mengetahui banyak hal darinya, tetapi tidak begitu dalam menganal perempuan tersebut.

Dalam cerita Laura seolah-olah hanyalah objek yang menjadi korban. Ia tidak terlalu ditampilkan sebagai manusia yang utuh. Kita tidak begitu tahu motif dari setiap gerak dan tingkahnya. Kita tidak diceritakan apa keinginan terbesar perempuan muda ini, kita tidak tahu hal apa yang membuat ia senang, dan kita tidak juga diperlihatkan seperti apa hubungannya dengan orangtua sendiri ataupun penduduk lokal. Hal yang sangat kita tahu bahwa ia lahir di dunia dengan satu tujuan, melahirkan Sersan Ipi dan kemudian mati.

Tokoh lain lagi yang cukup bermasalah saya kira adalah Maria. Dari awal cerita, Maria dikenal sebagai wanita yang tegas dan senang memberontak. Seorang yang bisa dikatakan sebagai feminis dan aktivis sekaligus. Ia melihat dunia penuh dengan kegetiran sehingga frustrasinya akan dunia tersebut kemudian ditumpahkan pada Romo Yosef yang mendengarkan dengan baik. Akan tetapi sikap kuat ini kemudian goyah ketika ia menikah dan timbul lagi ketika suaminya mati dan goyah lagi ketika setelah berciuman dengan Romo Yosef. Akankah goyah lagi di alam setelah kematian?

Selanjutnya terdapat tokoh bernama Martin Kabiti, temperamental akan tetapi mencintai keluarganya. Sepertinya tokoh ini merupakan gambaran dari Sersan Ipi sendiri. Kendatipun memiliki peran yang cukup kuat dan mempengaruhi banyak kehidupan para tokoh dalam cerita, akan tetapi kita tidak terlalu mengenal siapa sesungguhnya sosok ini, sebagaimana dengan lawan sendiri, Atino, karakter Martin Kabiti tidak dibangun dengan baik.


Felix K. Nesi


Rak Buku-buku Terbaik

 

Ketika pertanggungjawaban dewan juri sayembara novel DKI 2018 Mengatakan bahwa Orang-orang Oetimu adalah “sebuah contoh fiksi etnografis yang digarap dengan baik.” Saya kira memang begitu. Selama ini tidak begitu banyak fiksi dalam negeri yang membuat saya terpikat, dan Orang-orang Oetimu adalah salah satu ari yang tidak banyak tersebut.

Akan tetapi melihat kemiripan dengan novel yang pernah terbit jauh-jauh hari yaitu Cantik itu Luka, saya kira akan sangat susah bagi novel ini untuk keluar dari bayang-bayang Eka Kurniawan. Bahkan sebagai pribadi, saya sendiri berpikir bahwa cara penyampaian cerita dalam Orang-orang Oetimu, Felix K. Nesi sendiri terinspirasi dari Eka Kurniawan dan ini bukanlah hal yang buruk. Terlebih pula Orang-orang Oetimu berhasil ditulis dengan sangat baik dan dalam beberapa hal memiliki keunggulan dibandingkan cantik itu luka. Salah satu keunggulanya saya kira terlihat pada akhir cerita. Setelah menyelesaikan novel ini saya hanya bisa diam dan merenung, kembali memikirkan pelajaran-pelajaran sejarah yang pernah diterima ketika masih sekolah. Lalu berpikir mungkin saja semua yang kita pelajari selama ini tidak terlalu benar sebagaimana yang kita kira. Saya sangat menyukai cerita yang menimbulkan ide-ide dengan pertanyaan seperti ini.

Kemiripan kedua novel ini juga tidak lantas membuat Orang-orang Oetimu dan Cantik itu Luka saling melengkapi satu sama lainya. Keduanya merupakan elemen yang terpisah dan saling berdiri sendiri. Apabila di suatu tempat dalam imajinasi kita terdapat satu rak yang besar memuat novel-novel terbaik yang pernah ditulis sejak 2000s, maka Orang-orang Oetimu dan Cantik itu Luka akan bertengger di sana, di salah satu rak teratas. Kita sebagai pembaca dan penikmat sastra akan memilih salah satu diantara keduanya sebagai novel terbaik, manakah yang harus kita pilih?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

3 Pendekatan Memahami Teknologi : Perkembangan Teknologi Informasi dan Pola Interaksi Remaja Masa Kini

Mengunjungi Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dalam Memaknai Nasionalisme

PENGGOLONGAN KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI DAN SALURAN DAN MEDIA KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI