Postingan

Menampilkan postingan dengan label Humanity

Review Novel Semasa Karya Teddy W. Kusuma dan Maesy Ang

Gambar
Ulemasa: Kenangan Memang Sesedih Itu, tetapi Hidup Harus Berlanjut   Judul         : Semasa Penulis      : Teddy W. Kusuma dan Maesy Ang Penerbit    : Post Press Halaman   : 149 hal. Terbit        : Cet VI, Februari 2021     “... kami menerbitkan naskah-naskah yang kami suka, untuk pembaca yang tepat. ... agar setiap naskah dapat diantarkan dengan gembira dan sungguh-sungguh.”   Komitmen yang sangat menarik. --- Sepuluh halaman pertama ketika membaca novel Semasa, saya menyadari bahwa novel ini akan bercerita tentang dua sepupu yang tergolong berada bernostalgia tentang sebuah rumah di Desa Pandanwangi. “Apa menariknya?” pikir saya kala itu. Cerita tentang keluarga yang mengenang sebuah rumah lama bukannya sudah banyak?   Setelah lebih lanjut mencerna cerita yang dibawakan kedua penulis, saya menyadari ada sesuatu yang lebih ditawar...

Puisi Red poppy Karya Louise Gluck : Sejatinya Manusia dan Alam adalah Satu

Gambar
. Beberapa waktu yang lalu, saya menjumpai halaman Guardian muncul di feed Google saya.   Halaman yang muncul waktu itu adalah “Poem of the Week” yang merupakan kolom mingguan di situs berita tersebut. Kebetulan puisi yang ditampilkan oleh Carol Rumens hari itu ialah “The Red Poppy” karya Louise Gluck, seorang penyair Amerika Serikat dan pengajar di Yale University. Ia merupakan peraih salah satu perempuan peraih nobel sastra yang karya-karyanya dikenal menampilkan keindahan dalam menyajikan eksistensi manusia. Ketika saya membaca salah satu larik puisi seperti di bawah, saya tidak pernah melupakan puisi ini. Pada hemat saya “Red Poppy” mengambil tema hubungan manusia dan alam, akan tetapi sebenarnya makna yang ingin ditampilkan lebih dari itu. Sejatinya kita, manusia dan alam (Red Poppy) saling terkoneksi. Malahan dalam puisi tersebut mengisyaratkan bahwa kita pernah bersatu dalam satu wujud yang hal ini sangat dipengaruhi oleh pandangan evolusi Darwin. Karena kita saling te...

Mencari Jawaban Tentang "Bagaimana Seharusnya Kita Hidup?"

Gambar
Yogyakarta-Garut dan c erita diantara  k eduanya Selama masa pengerjaan skripsi saya sering bertanya tanya pada diri sendiri; “Apa yang dilakukan setelah ini?” “Apa yang mesti saya perbuat setelah semuanya rampung?” “Kemana kaki ini akan melangkah?” “Dimana angin akan berhembus dan kehidupan akan berlayar?” “Seperti apa hidup saya besok, lusa, tulat, dan…?” “Dengan siapa saya menikah?” “Seperti apa anak saya?” “Bagaimana bentuk rumah yang akan saya miliki?” “Apa saya kaya?” “Apa saya bahagia?” “Bagaimana saya harus hidup?” Dan sejenis pertanyaan sama yang hingga kini, ketika saya menuliskan rangkaian cerita ini tidak pernah terjawab. wikipedia Dalam pencarian terhadap kegelisahan tersebut, akhirnya membawa saya pada sebuah penemuan kecil. Hal ini, segala perasaan, kegelisahan, dan kegundahan yang saya lakukan adalah normal. Quarter life crisis , begitulah kalangan psikolog menyebutnya. Menyadari bahwa hal tersebut normal dan dialami oleh...

Masjid Gedhe Mataram Yogyakarta, Si Tua-Tua Keladi

Gambar
    Oleh: Iwan Hantoro wikimedia . org Masjid Gedhe Mataram, Si Tua-Tua Keladi Oleh: Iwan Hantoro Nuansa akulturasi budaya seketika menyeruak saat memasuki kawasan Masjid Gede Mataram. Masjid yang terletak di jantung Kotagede tersebut menyajikan gaya arsitektur tradisional Jawa. Corak Hindu begitu kental terlihat pada bangunan tempat ibadah kaum Muslimin. Siapa sangka , masjid bergelar “Masjid Tertua di Yogyakarta” ini masih tetap eksis sampai sekarang . Berdiri sejak 1640 M tidak menjadikannya letih dalam melayani kaum Muslimin. Banyak kegiatan keagamaan yang masih terlaksana dengan baik . Seperti yang diungkapkan oleh Wahzari , Takmir Masjid saat dihubungi di kantor sekretariat masjid (29/10). “Kegiatan keagamaan masjid ini banyak, ada yang harian, mingguan, bulanan, tahunan, juga insidental,” terang Wahzari. Kegiatan harian meliputi sholat lima waktu. Jamaah yang hadir ikut sholat jamaah juga ter...