Castillo del Morro
Oleh : Jailani Ansera
Sebelum berangkat dengan kapal menuju Miami, bangunan terakhir yang dilihat oleh Mary ketika meninggalkan Havana adalah sebuah mercusuar. Bangunan tinggi bewarna abu-abu yang suram, Faro del Castillo del Morro[1], begitulah orang Kuba menyebut nama tempat tersebut. Seingat Mary, ia pernah melihat kastil yang sama persis di pesisir California beberapa waktu lalu. Akan tetapi, ia lupa tepatnya dimana dan kapan persisnya. Seolah-olah kenangan itu tidak pernah terjadi sama sekali.
Kapal yang mereka layari menembus lautan yang cukup luas. Ombak besar beserta badai menghantam kapal sehingga terombang ambing. Semua orang terpana, menangis, dan terperangah. Beberapa lagi memaki dan banyak pula melapalkan doa pada tuhan. Dalam keriuhan itu, ombak yang paling besar datang seperti benteng perang. Cukup satu kali sapu, kapal itu terbalik bagai debu yang disiuh angin sore. Semua orang terjatuh dan tenggelam kecuali Mary beserta seorang laki-laki. Ia tidak kenal siapa orang tersebut, hanya saja wajahnya yang kelihatan lesu dan pucat tampak putus asa menambah rasa kasihan Mary pada laki-laki itu. Melebihi kesedihanya pada diri sendiri.
Beberapa lama kemudian, mereka saling kenal. Ia tahu laki-laki itu benama Fernandez. Seorang pelancong dari Lisbon akan tetapi tidak mengerti Bahasa Portugis. Katanya ia adalah seorang Spanyol tulen. Fernandez memiliki kulit merah terbakar sinar matahari dan mata hitam cerah. Sedangkan rambutnya hitam mengkilat seperti tidak pernah disinari mentari sedikitpun. Berdua, mereka bertahan pada puing kapal yang kecil selama tiga hari di Selat Florida. Tidak minum dan makan. Selama seharian ini mereka juga tidak saling berbicara, sehingga Mary khawatir bahwa Fernandez mati lebih cepat dibandingkan dirinya.
“Apa yang kau lakukan?” Tanya Mary ketika menyaksikan Fernandez menceburkan dirinya di laut dalam.
“Tidak ada daratan di sini!” Jawabnya.
“Aku tahu.”
“Tidak ada tanah, tidak ada harapan.”
“Akan ada yang menemukan kita.” Sanggah Mary untuk mencoba bersikap optimis.
Akan tetapi Fernandez tidak mendengar. Malah semakin lama ia semakin menjauhkan diri dari pegangan kecil di hari tenang itu.
“Kemarilah, kau akan mati!”
“Aku lebih memilih mati daripada menderita lebih lama lagi.” Teriak laki-laki itu dengan rasa putus asa. Tak lama berselang, Fernandez tenggelam dan Mary tidak melihat jejak apapun lagi darinya.
Pada hari ke tujuh, ada sebuah kapal mendekat. Mary hanya mendengar suara layarnya memecah angin karena ia tidak dapat merasakan apa-apa lagi. Bahkan menggerakkan tubuhnya saja tidak. Ia telah berjemur selama tujuh kali siang tanpa hujan, tubuhnya merah, dan rasanya asin seperti ikan yang dikeringkan. “Untunglah aku masih hidup.” Batinya sambil mencoba tersenyum dengan bibir keriputnya yang kering.
Di atas kapal, seorang laki-laki berparas tampan dengan pakaian putih mendekat. Di pundaknya memiliki sayap dan membawa jiwa Mary pergi, meninggalkan tubuhnya yang terlentang di atas pegangan kecil yang mengambang. Lalu jiwanya dibawa ke langit, menembus awan. Dari kejauhan, ia melihat Castillo del Morro menantinya di atas awan sirus yang tipis.
“Begitu, jadi aku tidak melihatnya di California ternyata.” Kata Mary sambil tersenyum.
[1] Mercusuar Kastil Morro (Spanish)
Artikel bagus,kunjungi balik kak
BalasHapus