Gubenur dan Petani
pixaby/pexels
Dalam sebuah perjalanan dinas, akupun tersesat. Tempat yang sangat asing sekali menurutku. Tepatnya pada sebuah lereng gunung hijau yang diselimuti kabut, seakan-akan menandakan bahwa di gunung itu terjadi hujan setiap hari. Ketika rintik-rintik mulai turun, aku melongok ke atas. Ah, benar saja, sekarang akan hujan sehingga ada baiknya aku berteduh. Tempat aku berteduh adalah satu-satunya gubuk yang dimiliki laki-laki tua di lereng gunung itu.
“Boleh aku berteduh di sini?” tanyaku.
“Oh, tentu saja.” Katanya ramah dan riang.
Akan tetapi lelaki tua ini rupanya tidak tahu bahwa aku seorang gubenur sampai ia bertanya, “Siapakah tuan ini?”
“Aku seorang gubenur.” Jawabku sambil tersenyum.
Laki-laki tua itu terperanjat. Segera ia memberikan tikar paling bagus, minuman terbaik, dan pelayanan paling ramah yang ia bisa. Tentu saja aku sangat berterimakasih dengan apa yang ia lakukan padaku.
“Pastilah tuan memiliki tugas yang berat?” tanya lelaki tua sambil menyeduh teh.
Aku tersenyum sekilas. Andai ia tahu bahwa pekerjaan paling ringan adalah menyuruh-nyuruh orang lain, dan hal paling menyenangkan adalah diistimewakan lebih dari orang lain. “Sebagian besar, memang,” jawabku. “Karena aku bertanggung jawab terhadap rakyatku.”
“Iya, iya, aku mengerti sekali.” Katanya dengan nada serak.
Ketika hujan berhenti aku izin pamit. Lalu tidak pernah bertemu lagi denganya sampai beberapa tahun kemudian, ketika aku sakit keras dan akhirnya meninggal. Ia datang mengkhampiriku dengan mimik serupa seperti yang aku saksikan bertahun-tahun lalu. Ramah dan menyenangkan. Petani tua itu rupanya telah mati, sama halnya denganku.
“Andai saja dulu aku tahu, tanggung jawab terberat adalah memenuhi hak-hak orang lain!” begitu katanya.
Artikel bagus,kunjungi balik kak
BalasHapus