Review Novel Semasa Karya Teddy W. Kusuma dan Maesy Ang
Ulemasa: Kenangan Memang
Sesedih Itu, tetapi Hidup Harus Berlanjut
Judul : Semasa
Penulis : Teddy W. Kusuma dan Maesy Ang
Penerbit : Post Press
Halaman : 149 hal.
Terbit : Cet VI, Februari 2021
“...
kami menerbitkan naskah-naskah yang kami suka, untuk pembaca yang tepat. ...
agar setiap naskah dapat diantarkan dengan gembira dan sungguh-sungguh.”
Komitmen
yang sangat menarik.
---
Sepuluh
halaman pertama ketika membaca novel Semasa, saya menyadari bahwa novel ini
akan bercerita tentang dua sepupu yang tergolong berada bernostalgia tentang
sebuah rumah di Desa Pandanwangi. “Apa menariknya?” pikir saya kala itu. Cerita
tentang keluarga yang mengenang sebuah rumah lama bukannya sudah banyak?
Setelah
lebih lanjut mencerna cerita yang dibawakan kedua penulis, saya menyadari ada
sesuatu yang lebih ditawarkan oleh Semasa. Sepertinya pandangan Yuval Noah
Harari bahwa untuk menentukan sebuah buku luar biasa atau tidak dapat dilihat
dengan sepuluh halaman pertama saja tidak terlalu bekerja bagi saya. (Ini
adalah kesalahan saya yang terlalu banyak waktu luang sehingga pekerjaan paling
sia-sia pun akan terasa tidak membuang waktu sama sekali.)
Kritik
sosial politik kotemporer ditulis dengan bahasa yang lembut adalah sesuatu yang
jarang saya temui di penulisan novel Indonesia. (Sekali lagi ini adalah
kesalahan saya. Buku seperti ini mungkin banyak hanya saja saya yang kurang
tekun membaca saja membuatnya terasa asing.)
Saya
menyukai perdebatan kedua sepupu tentang pekerjaan mereka yang sangat dekat
dengan isu sosial serta memberikan pengalaman-pengalaman yang terasa asing bagi
saya. Saya baru tahu ternyata imigran Polandia juga menerima cibiran di
Belanda, selama ini saya kira permasalahan seperti hanya terjadi di Inggris
yang bahasanya lebih umum digunakan. Selain itu satire tentang Donald Trump
yang membangun tembok di perbatasan Meksiko mampu membuat saya tertawa geli.
Dalam
penulisannya, penulis menggunakan sudut pandang orang pertama. Cara seperti ini
di satu sisi dapat memperdalami pemahaman pembaca terhadap perasaan yang
dialami tokoh utama, juga memiliki kekurangan tersendiri. Cerita dengan sudut
pandang seperti ini akan sangat mudah untuk menjadikan cerita hanya terpapar
dalam satu dimensi saja Di satu sisi
kita sangat memahami Coro dengan kehidupannya, namun Sachi yang juga seharusnya
menjadi tokoh utama terasa kurang dieksplorasi dengan lebih dalam. Selain itu
masih ada perasaan-perasaan para tokoh yang tidak saya pahami sehingga
meninggalkan lubang tersendiri. Misalnya ketika bapak yang ingin memberi
komentar tentang buku yang ditulis oleh Coro, kita dapat mengisyaratkan bahwa
pendapatnya buruk dari pandangan tokoh utama, akan tetapi apakah bapak memang
berpikir begitu? Entahlah. Juga ketika Sachi tidak hadir di saat yang paling
dibutuhkan kita harus dibuat percaya pada penuturan tokoh utama bahwa Sachi
sedang sibuk dengan kariernya di luar negeri. Apakah Sachi seegois itu atau ada
alasan lain yang dapat kita terima?Apakah ia juga sedang patah hati dengan dosennya
sehingga tidak sempat memikirkan orang lain? Jawabannya sekali lagi, entahlah!
Tentang
kematian ibu si tokoh utama pula menimbulkan kejanggalan tersendiri bagi saya.
Rasanya ada usaha dari penulis untuk tidak hanya menjadikannya mati, namun
turut pula terhapus dari ingatan tokoh utama. Padahal kematiannya tidak
berlansung lama dan tokoh utama harusnya dapat mengingat kenangan dengan cara
lebih baik. Bahkan Martini yang juga menjadi bagian dari kenangan tokoh utama
rasanya lebih nyata di imajinasi saya. Sedangkan rumah dikenang dengan sangat
baik. Saya juga jenis orang yang senang mengenang sebuah tempat yang mempunyai
arti tersendiri, akan tetapi apakah kenangan tempat lebih penting dari kenangan
tentang seseorang? Bukankah kenangan sebuah tempat ada karena orang-orang yang
menjejakkan cerita di dalamnya?
Kehidupan
tokoh utama yang diterpa rasa kegagalan dalam banyak hal menyita perhatian
saya. Saya memiliki simpati yang sangat dalam dan terkoneksi terhadap tokoh
utama. Seringkali kita memang berada di posisi merasa gagal terus menerus
sehingga sering menyalahkan diri sendiri ataupun orang lain, makanya saya
merasa sangat memahami tokoh utama ketika ia memberikan komentar tentang Sachi:
“kadang
kupikir, melakukan hal mulia untuk kemanusiaan bisa jadi hal yang teramat
egois. Kau mendapat banjir pujian atas apa yang telah kau berikan, dan jika
suatu saat kau lelah lalu memutuskan berhenti, semua orang akan mudah mengerti
dan tetap menepuk punggungmu. Di sisi lain, keluargamu, juga orang-orang dekat,
membutuhkan komitmen yang tak kenal henti dan jauh dari gemerlap.”
Pernyataan
di atas memang terdengar menarik namun sangat naif. Sepanjang pengetahuan saya,
tidak sekalipun saya mendengar atau membaca bahwa orang yang berhasil secara
status sosial adalah orang yang gagal dalam membina hubungan keluarga secara
intim. Sebaliknya, penelitian-penelitian tentang relationship ataupun buku
motivasi yang saya baca cenderung membuktikan bahwa orang yang sukses secara
sosial, bahakan secara finansial adalah orang yang berhasil membina hubungan
personal pada orang lain, sehingga tidak ada “di sisi lain” antara kesuksesan
dan keluarga. Paradoks tersebut bahkan terlihat dalam novel Semasa ini sendiri,
dimana Sachi yang terbilang berhasil di dalam kehidupannya tetap berhubungan
baik dengan pamannya melalui surat-surat, sedangkan Coro sendiri merasa
terasing dari ayahnya meskipun masih di satu kota.
Pelukisan
tentang merasa sendiri dan sepi dalam novel Semasa rasanya begitu dekat dalam
kehidupan kita sehari-hari. Sepi bukanlah merasa sendiri, melainkan merasa
tidak ada yang peduli. Bahkan di hiruk pikuk jalan rayapun kita tetap saja bisa
merasakan kesepian, nah begitu pula soal kedekatan hubungan, bukanlah soal
jarak, melainkan rasa. Kita bisa saja jauh dari seseorang, akan tetapi bila
ikatan masih kuat, maka rasanya akan tetap dekat. Bahkan bila dekatpun, tanpa
rasa saling percaya, sendirinya kita akan merasa terasing.
Akan
tetapi kesepian dan keterasingan Coro dan bapaknya adalah jenis keterasingan
yang lain. Kesepian yang dirasakan keduanya bukan sekedar kehilang seseorang,
namun juga kehilangan makna.
Maksudnya
begini, saya menganggap bahwa kebutuhan manusia adalah saling melengkapi dan
hubungan manusia adalah tarik menarik seperti magnet. Di satu sisi kita membutuhkan
orang lain, di sisi lain kita juga punya hasrat untuk dibutuhkan orang lain
agar eksistensi kehidupan kita bermakna. Agar kita tidak merasa bahwa hidup ini
sia-sia belaka. Bagi Coro, dirinya adalah “abang” dari Sachi yang selalu
menjadi pelindung bagi adiknya, akan tetapi ketika Sachi menjadi dewasa dan
bahkan lebih darinya dalam banyak hal, tentu saja Coro merasa terasing dan
kehilangan maknanya sebagai abang yang dibutuhkan.
Terlebih
lagi untuk bapak, istrinya telah tiada, putranya tumbuh dewasa dan mandiri,
sedangkan adiknya akan pergi. Siapakah lagi yang membutuhkannya? Jawabannya
bukan pada siapa, tetapi apa. Rumah. Ya, rumahlah yang masih membutuhkannya
agar tidak dijual pada tangan yang salah. Oleh karenanya ia sangat bersikeras
untuk mempertahankan rumahnya itu. Bagi saya kesepian karena merasa tidak
dibutuhkan lagi seperti yang dirasakan oleh Coro dan Bapak adalah kesepian yang
lebih menyedihkan dibandingkan kesepian karena sedang membutuhkan seseorang.
Hal
seperti inilah yang paling saya suka dari Semasa. Novel ini benar-benar membuat
saya merasa dan terikat dengan cerita, tempat, dan orang-orangnya. Bagi saya
pengalaman membaca Semasa jauh dari kata mengecewakan dan memiliki tempat
tersendiri di hati saya. Semasa membagikan pengalaman personal dengan cara yang
lembut sehingga kita larut pada cerita yang melankolis. Ya, kenangan memang
seringkali sesedih itu, tetapi hidup harus berlanjut. Semoga saja penulis
menerbitkan lagi cerita-cerita lainnya dan sukses selalu.
Komentar
Posting Komentar