Perempuan, Lipstik, dan Dahaga Perhatian setelah Seharian Puasa Puisi

 

“berbanggalah kaum yang miskin!
Mereka berbicara dengan tuhannya lebih sering!”

-Widya Mareta


Judul Buku : Puasa Puisi
Penulis : Widya Mareta
Penerbit : Indonesia Tera
Terbit : Cetakan l, Juni 2021

 


“Dengan menulis puisi, ... Saya bisa menuangkan keresahan dengan bercerita ....” begitulah ungkapan penulis yang saya baca di cover belakang buku Puasa Puisi ini. Seperti ungkapan Widya, puisi-puisi yang disuguhkanya memang banyak sekali berupa narasi-narasi yang dipuisikan sehingga tidak mengherankan banyak terdapat percakapan-percakapan seperti membaca sebuah cerpen atau cerita pada biasanya.

Melihat buku puisi bertemakan perempuan, oleh perempuan yang katanya ingin menambah daftar penulis perempuan di Indonesia, saya berspekulasi bahwa puisi Widya Mareta akan memiliki rasa yang sama dengan puisi-puisi Rupi Kaur (Milk and Honey) dimana berisi tentang penderitaan perempuan di dunia yang terlalu didominasi oleh laki-laki. Tetapi takaran saya keliru. Puasa Puisi bukanlah puisi tentang perempuan yang menjadi objek laki-laki, akan tetapi ada dalam usaha untuk menggambarkan kegamangan seorang manusia pada umumnya, baik laki-laki atau perempuan, yang tumbuh dan berkembang, hanya saja kali ini dalam perspektif perempuan.

Secara umum buku puisi bertemakan perempuan ini berkutat pada hubungan seorang ibu dengan anaknya ataupun keresahan dan kegundahan seorang perempuan yang tumbuh, meninggalkan masa anak-anak menuju dunia orang dewasa. Saat seperti itu kita diajarkan bahwa tampil apa adanya tidaklah cukup sehingga perlu menjadi sosok lain untuk berkamuflase demi mendapat perhatian orang lain.


“Nanti kau akan rindu jadi anak kecil,

Yang dicintai tanpa tuntutan apa-apa.”

-Prosesi Perenggutan Masa Kecil

 

Sisir seperti jerat laba-laba,

Bedak serupa warna kemarau,

Kilau lipstik bebas edar.

 

Namun Widya tidak terjebak dalam usaha untuk “menyalah-nyalahkan” bagi perempuan yang ingin menarik perhatian dengan tidak lagi menjadi dirinya sendiri (Lagi pula perempuan sudah cukup susah oleh standar kecantikan yang ada, tidak perlu ditambah dengan menyalah-nyalah lagi). Pada pandangannya hal tersebut adalah bagian dari masyarakat, sesuatu yang lumrah, dan umum.  Akan tetapi hal yang sudah dianggap biasa itulah yang meresahkannya;

 

Inilah rangka yang telah ditakdirkan

Untuk menjadi bangunan serbaguna?

-Arsitektur Perempuan

 

(Saya kira tanda tanya di ujung bait itu menguatkan keresahan penulis)

 

Suatu malam aku pergi ke tubuh sebuah lipstik

Dan tidak pernah kembali

-Asmarandana

 

“Lipstik itu kutukan berdarah!

Benda kecil penuh musibah!”

-Melankolia Lipstik

 

Secara keseluruhan usaha penulis untuk menyampaikan kegelisahannya tersampaikan dengan baik, akan tetapi adakah sesuatu pandangan yang baru ditawarkan? Melihat hubungan gender dengan perspektif baru yang belum saya temui? Bahkan mungkin menyentil keyakinan yang ada pada diri saya sendiri sehingga membuat saya berada dalam posisi tidak nyaman? Jujur saja saya tidak merasakan kenikmatan seperti itu ketika membalikkan helai demi helaian halaman buku Puasa Puisi ini. 

Kendatipun demikian saya menikmati banyak puisi yang disuguhkan oleh penulis di dalam bukunya. Salah satu puisi yang menjadi favorit saya adalah “Seorang Anak yang Mati Setiap Hari”:

 

Saat orang-orang menjajakan khotbah,

Aku menjual lengkingan

Untuk menjadi pelengkap jam-jam suntuk di balik kendaraan

....

“berbanggalah kaum yang miskin!

Mereka berbicara dengan tuhannya lebih sering!”

 

Selamat berpuka puasa puisi, terimakasih Widya Mareta karena telah menulis buku puisi yang menemani siang Jumat saya ini.

Oh ya, tidak disangka-sangka saya mendapatkan buku dengan tanda tangan penulis. Ini adalah pengalaman pertama kalinya! Apa jangan-jangan saya termasuk yang spesial, atau hanya kegirangan saja? Apa memang semua buku Kak Widya bertanda tangan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

3 Pendekatan Memahami Teknologi : Perkembangan Teknologi Informasi dan Pola Interaksi Remaja Masa Kini

Mengunjungi Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dalam Memaknai Nasionalisme

PENGGOLONGAN KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI DAN SALURAN DAN MEDIA KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI