Masjid Gedhe Mataram Yogyakarta, Si Tua-Tua Keladi
Oleh: Iwan Hantoro
Masjid Gedhe Mataram,
Si Tua-Tua Keladi
“Kegiatan
keagamaan masjid ini banyak, ada yang harian, mingguan, bulanan, tahunan, juga
insidental,” terang Wahzari.
Kegiatan
harian meliputi sholat lima waktu. Jamaah yang hadir ikut sholat jamaah juga
tergolong banyak. Maghrib menjadi waktu sholat yang paling banyak jamaahnya.
Tidak kurang dari 150 jamaah mengisi lima sampai enam shaf masjid. Sementara
jamaah paling sedikit biasanya sholat Ashar dan Dzuhur, berkisar antara tiga
sampai empat shaf.
Jamaah
yang sholat di masjid juga beragam. Bukan hanya dari warga sekitar, warga luar
daerah juga ikut berjamaah. Seperti Wiyoro, Pringgolayan, Purbayan, sampai dari
Jalan Wates. Sementara untuk imam dan muadzin bergantian. Dalam lima kali
pelaksanaan sholat wajib, terdapat lima imam dan lima muadzin.
Porsi
kegiatan yang menunjukkan hidupnya masjid tercermin di kegiatan mingguan.
Kegiatan yang rutin dilaksanakan setiap pekan. Pertama, kajian kitab Aqidah
yang dilakukan setiap Ahad malam. Kitab Arba’in Nawawi setiap Senin malam,
tafsir Al-Quran setiap Rabu malam dan kajian Hadis umum setiap jumat malam.
Kegiatan
kedua adalah tahsin Al-Quran. Kegiatan ini dilaksanakan dua kali sepekan, yakni
setiap Senin malam dan Kamis malam. Bisa diikuti seluruh usia, tua dan muda.
Kegiatan selanjutnya yakni Taman Pendidikan Al-Quran (TPA). Kegiatan ini khusus
untuk anak-anak mengaji. Pelaksanaannya setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu setelah
sholat Ashar.
Terkhusus
sholat jum’at, Masjid Gede Mataram selalu dipenuhi dengan jamaah. Bahkan dua
pendopo samping kanan dan kiri juga digunakan. Padahal bagian dalam dan selasar
masjid sudah cukup luas.
“Terkadang
malah tidak cukup, jadi depan pintu gapura itu akan di gelari tikar,” ucap
Wahzari.
Kegiatan
bulanan dan insidental lebih banyak dilaksanakan oleh pihak luar. Masjid Gede
Mataram setiap bulannya digunakan untuk kegiatan pengajian guru SD. Jamaah yang
hadir rata-rata 400 orang yang semuanya adalah guru-guru SD di beberapa daerah
di Jogja. Selain itu, kepala sekolah SD se-Jogja juga sering mengadakan
pengajian. Jumlah jamaah berkisar 190 orang.
Kegiatan
insidental dilaksanakan pihak luar dan hanya terdapat pada momen tertentu.
Tercatat nama Ustadz Bahtiar Natsir,
Aa Gym, Ust Anan, Iip Wijayanto, Felix Siauw pernah mengisi kajian di Masjid
Gede Mataram.
Kegiatan
tahunan di Masjid Gede Kauman tergolong minim. Itu disebabkan karena perayaan
Idhul Fitri dan Idhul Adha tidak dilakukan di kompleks masjid. Warga lebih
memilih lapangan untuk melaksanakan sholat Id. Sementara masjid digunakan oleh
pihak keraton untuk merayakan Idhul Fitri maupun Idul Adha.
Kepengurusan:
Demokrasi ala Masjid
Eksistensi
Masjid Gede Mataram ternyata tidak hanya tercermin dari banyaknya kegiatan
keagamaan. Ketua takmir masjid, Kamaruddin Noor mengatakan bahwa kepengurusan
juga berperan besar.
“Pemilihan
ketua takmir dan jajaran kepengurusan diawali dengan pemilihan langsung. Tetapi
itu untuk memilih tim formatur,” ujar Kamaruddin Noor pada Minggu (11/11).
Awalnya
masyarakat menuliskan lima sampai tujuh orang dalam sebuah kertas. Setelah
dihitung maka akan didapatkan sebelas nama dengan suara terbanyak. sebelas
orang tersebut sebagai tim formatur dan bermusyawarah menentukan ketua beserta
jajaran pengurus takmir.
Pemilihan
secara langsung bisa dibilang baru. “Pergantian pengurus yang dulu langsung
ditunjuk oleh pengurus sebelumnya, jadi semacam resufle,”
terang salah satu Pengurus Cabang Muhammadiyah tersebut.
Pemilihan
umum pertama dilaksanakan awal tahun 2016. Periode kepengurusan selama tiga
tahun. Hal tersebut untuk menghindari kejenuhan, baik dari pengurus maupun yang
diurus (baca: jamaah). Kamaruddin menambahkan, pada Desember 2018 akan diadakan
pemilihan umum untuk periode selanjutnya. Pengurus yang sudah menjabat di
periode sekarang bisa dipilih menjadi pengurus lagi di kepengurusan selanjutnya.
Di
Tengah Himpitan Sumber Dana
Melihat
padatnya kegiatan yang ada di Masjid Gede Mataram, tentu membutuhkan dana yang
tidak sedikit. Meskipun masjid ini masih di bawah tanggungjawab Keraton
Ngayogyakarta, tetapi nyatanya kurang ada perhatian yang serius dari pihak
Keraton. Wahzari mengungkapkan bahwa mulai dua tahun terakhir sudah tidak ada
bantuan dana dari sana. Hal itu karena penanggungjawab yang mengurusi masjid
sudah meninggal.
Hal
senada juga diungkapkan oleh Warisman, Pemegang Kas Masjid Gede Mataram (4/11).
Tetapi, berhentinya suntikan dana tidak lantas membuat kegiatan masjid
terganggu atau bahkan mandeg. Ia menjelaskan bahwa sumber dana utama berasal
dari infak jamaah. Infak tersebut meliputi infak harian, infak hari Jumat, dan
infak kerjasama pengajian.
“Berjalannya
kegiatan di masjid ini ditopang oleh infak dari jamaah. Terkadang juga ada
infak dari kerjasama kegiatan,” ungkap Warisman.
Meskipun
terlihat terlalu minim sumber dana, tetapi ternyata perputaran uang cukup baik.
Laporan keuangan bulan Agustus 2018 menunjukkan hal tersebut. Tercatat total
saldo dan pemasukan sebesar 205.851.698 rupiah dengan pengeluaran 40.329.600
rupiah.
Meskipun
termasuk masjid tertua di Yogyakarta, bahkan di Indonesia, Masjid Gede Mataram
masih tetap bisa eksis. Kegiatan keagamaan masih bisa dijalankan dengan baik
dan terstruktur.
Lha. Inikan tulisan saya. Lhaaaaa
BalasHapus