Mencari Jawaban Tentang "Bagaimana Seharusnya Kita Hidup?"

Yogyakarta-Garut dan cerita diantara keduanya



Selama masa pengerjaan skripsi saya sering bertanya tanya pada diri sendiri;

“Apa yang dilakukan setelah ini?”
“Apa yang mesti saya perbuat setelah semuanya rampung?”
“Kemana kaki ini akan melangkah?”
“Dimana angin akan berhembus dan kehidupan akan berlayar?”
“Seperti apa hidup saya besok, lusa, tulat, dan…?”
“Dengan siapa saya menikah?”
“Seperti apa anak saya?”
“Bagaimana bentuk rumah yang akan saya miliki?”
“Apa saya kaya?”
“Apa saya bahagia?”
“Bagaimana saya harus hidup?”

Dan sejenis pertanyaan sama yang hingga kini, ketika saya menuliskan rangkaian cerita ini tidak pernah terjawab.

wikipedia

Dalam pencarian terhadap kegelisahan tersebut, akhirnya membawa saya pada sebuah penemuan kecil. Hal ini, segala perasaan, kegelisahan, dan kegundahan yang saya lakukan adalah normal. Quarter life crisis, begitulah kalangan psikolog menyebutnya. Menyadari bahwa hal tersebut normal dan dialami oleh mayoritas kalangan generasi Z permulaan seperti saya, maka saya sedikit merasa terobati. Dari situ saya memahami bahwa, menolak kegelisahan dan ketakutan saya akan masa depang bukanlah solusi. Menyadari bahwa kegelisahan kita adalah normal menjadi cara yang sangat baik untuk mengatasi kegelisahan itu sendiri.
Meskipun telah menyadari bahwa segala hal yang saya alami ini terbilang normal, akan tetapi tetap saja pertanyaan itu masih muncul. Di malam yang sepi, di pagi yang dingin, ataupun di senja yang kuning keemasan, pikiranku terkadang masih tetap teralihkan pada pandangan tentang masa depan. Dalam pikiran yang semeraut itu, saya kembali lagi tersadar pada kenormalan yang saya anggap biasa tadi. Ternyata itu saja tidak cukup. Pada kenyataanya, saya masih gelisah dalam kenormalan yang melanda saya menjelang usia dua puluh lima. Oleh karenanya saya memutuskan untuk melakukan hal ini:

“Melakukan perjalanan kecil selama dua minggu selama liburan lebaran!”

Kisah ini bemula ketika teman-teman satu kontrakan mulai berbicara tentang liburan. Bagi para mahasiswa-terkhusus mahasiswa kalangan bawah dan menengah- berbicara liburan tidak melulu berbicara tentang bertemu keluarga di kampung, akan tetapi lebih banyak bersua tentang biaya. Meskipun dengan bibir menggerutu dan perasaan cenat-cenut dengan biaya tiket yang melonjak jelang lebaran, sebagai besar orang yang saya kenal tetap memutuskan untuk pulang. Mengemas pakaian mereka-yang sebagian besar saya yakini adalah pakaian kotor agar bisa dicuci di rumah-dan melangkah keluar kota. Berapapun biayanya, selama dihadapkan dengan keluarga maka hal itu tidak memiliki nilai sama sekali. Setelah itu kisah perjalanan akan di-update di stories WhatsApp dan Instagram tentang kaca jendela kereta api, bus, ataupun pesawat. Cara terbaik dan halus untuk mengucapkan selamat tinggal tanpa air mata. Lalu perjalananpun usai dengan pelukan di pundak sanak saudara.
Saya sejatinya melakukan hal yang sama, hanya saja dengan cara yang berbeda. Saya merancang perjalanan ini selama beberapa hari. Tanpa rasa dosa menghubungi teman-teman yang saya kenal lewat online dan mengabarkan bahwa saya akan berkunjung ke rumah mereka, jadi siapkan makanan terbaik!
Benar saja, saya pulang, tetapi tidak pada keluarga besar saya, akan tetapi pada keluarga ornag lain! Alasanya seperti yang kalian tahu:

“Makan gratis?”

Tidak! Oh, tentu tidak! Tidak dapat dipungkiri bahwa itu adalah salah satu alasan. Akan tetapi di balik semua itu, terdapat alasan lain yang utama. Sebuah alasan dimana saya berharap menemukan jawaban. Salah satu jawaban yang selama ini menghantui perjalanan usia 20s saya.

“Seperti apa keluarga terbaik yang akan saya miliki?”

dan "Kota mana yang akan saya tinggali?"

Yah, saya sengaja melakukan perjalanan dimana saya bisa tinggal beberapa hari dengan keluarga teman saya. Melakukan pengamatan, observasi, wawancara sebagaimana yang telah saya pelajari dalam membuat skripsi. Tentu saja semuanya tidak dilakukan secara formal, akan tetapi dengan cara halus sehingga tidak terkesan sedang mengintrograsi. Akan aneh sekali bila saya mengambil foto orang tua teman saya yang sedang memegang panci penggorengan, menanyakan mereka bagaimana cara mengasuh, dan juga hal terbaik apa yang ingin mereka lakukan pada keluarga sambil menyodorkan handphone dengan recorder yang menyala. Tentu saja saya tidak ingin membuat “acara menginap gratis” tersebut menjadi momen yang canggung dan tidak menyenangkan.
Hal yang saya lakukan hanyalah bertingkah biasa. Besikap sopan sesopan yang saya bisa, tersenyum bila dibutuhkan, dan menjawab pertanyaan bila ditanya.

***

Film Mrlina/indonesiatatler.com

Tempat pertama yang saya singgahi adalah sebuah dukuh kecil di Utara Kebumen, perbatasan dengan Wonosobo. Rerumputan yang tumbuh subur, jalan panjang yang mulus, perbukitan yang mempesona, disertai dengan pick up yang melintasinya membuat saya mengingat kembali film drama “Marlina Pembunuh dalam Empat Babak”. Pesona yang diberikan Tuhan pada tempat terpencil di pinggir penggunungan itu begitu memukau disertai udara yang dingin.
Kedua, perjalanan saya lanjutkan dari penggunungan ke teluk yang ombaknya tidak pernah diam. Bergejolak seperti api yang selalu disaksikan pada kilang minyak Kota Cilacap. Benar saja, saat ini aku sedang berada di kota tersebut. Cilacap adalah kota kecil yang panas dan lembab. Mudah sekali berkeringat di sana. Selian itu anginya juga berhembus lebih kencang dari kota-kota lain yang pernah saya jumpai disertai debu yang beterbangan. Akan tetapi ketenangan kota disertai jalanan yang langgeng adalah tanda bahwa kota ini menawarkan kehidupan yang harmonis dengan orang-orang baik di dalamnya.
Dan pada akhirnya saya menuju pada kota ketiga, Garut. Hal yang baru-baru ini saya ketahui sebagai Swiss van Java, sebuah kota yang berada di sekeliling penggunungan hijau. Penggunungan di Jawa Barat selama yang saya saksikan terlihat berbeda dengan penggunungan yang berada di Jawa Tengah. Saya perhatikan sepanjang penggunungan Tasikmalaya dan Garut terlihat lebih hijau dan memukau dengan sawah-sawah dan pepohonan cengkih sebagai hiasanya.

Mungkin kalian akan bertanya-tanya sambil menggumal:

“Ayolah, bukan itu yang harus kau ceritakan! Katakan pada kami bagaimana keluarga temanmu itu, bagaimana rumahnya, dan seperti apa keharmonisanya!”

“Tidak, aku tidak akan mengatakan itu pada kalian!”

“Alasanya?”

“Alasanya karena aku tidak ingin menceritakanya, that’s all!”

Pada tiga kota yang telah saya sebutkan tadi, saya telah melihat beberapa keluarga. Semuanya memiliki keunikan tersendiri dengan tradisinya sendiri-sendiri. Saya belum pernah menyadari ini sebelumnya, akan tetapi tradisi yang dimiliki oleh keluarga memiliki dampak yang sangat besar terhadap anak tersebut-maksud saya pada teman yang saya tahu- sehingga tidaklah mengherankan bahwa orang-orang sering menekankan bahwa keluarga adalah tempat belajar yang paling utama. Akan tetapi dari semua itu, saya menyadari bahwa tidak ada keluarga yang lebih baik dari keluarga yang lainya. Semuanya hanya berbeda dengan keunikan mereka sendiri. Keunikan ini seperi relasi antara anak dan orangtua, bagaimana sikap anggota keluarga terhadap pekerjaan rumah dan pembagian tugasnya, serta model komunikasi mereka. Semuanya berbeda antara satu dan yang lainya. Dan tentu saja, semua itu berbeda dengan keluaga yang saya punya di rumah.
Sejujrnya saya bukan tipikal orang yang melodramatis bila berhubungan dengan pulang ke rumah dan rindu kelurga (home sick) akan tetapi ketika singgah dari satu keluarga ke keluarga lainya, saya mesti mengakui bahwa perasaan itu muncul. Iya, dari banyak tempat yang saya singgahi, saya merasa keluarga terbaik adalah keluarga saya sendiri. Apabila merujuk pada puisi Alice L'Écuyer dalam “Monsieur Lazhar” akan dikatan seperti ini.

“Keluargaku baik, mungkin bukan keluarga terbaik di dunia, tapi itu milikku!”

Begitu pula dengan kampung halaman yang saya punya. Banyak tempat yang indah di dunia ini, dan mungkin saya telah melihat beberapa di antarnya, akan tetapi tidak ada yang seindah kampung saya sendiri, pantai saya sendiri, dan deburan ombak di belakang rumah sendiri, serta gunung dan bukit di kebun orang tua saya sendiri. Semuanya indah dengan caranya sendiri.

Benar, tidak ada hal yang terbaik di dunia ini kecuali milik sendiri dan kita merasa terikat denganya.
***

Ketika hari terakhir saya pulang dengan wajah lelah dan mata merah serta badan meriang. Akan tetapi usai perjalanan itu bukan bearti bahwa semua pertanyaan saya tentang keluarga, hidup, cinta, dan lain-lain telah terjawab tuntas sudah. Sepertinya tidak semuadah itu. Akan tetapi paling tidak dengan begitu saya mengerti, mengetahui, dan mempelajari banyak hal. Salah satunya adalah tentang keramahan Suku Sunda dan kehangatan bahasanya. Merekalah orang-orang paling ramah yang pernah saya temui hingga detik ini.
Sambil menyandar dan mendengar sirene di Stasiun Tasikmalaya yang mengingatkan saya pada lagu “Terang Boelan” nyanyian Wieteke Van Dort, saya memikirkan tentang ini. Dalam perjalanan saya, sepertinya semuanya cukup dirangkum dalam satu lagu kecil. Lagu yang indah dan mengilhami saya untuk berani bertemu dengan orang-orang baru di kota yang asing. Sepertinya saya mesti mengucapkan terimakasih untuk Tom Paxton atas lagunya yang luar biasa mempesona dan menginspirasi.



It's a long and dusty road, it's a hot and a heavy load
And the folks I meet ain't always kind
Some are bad and some are good
Some have done the best they could
Some have tried to ease my troubled mind

And I can't help but wonder
Where I'm bound, where I'm bound
Can't help but wonder where I'm bound

I've been wanderin' through this land just doin' the best I can
Tryin' to find what I was meant to do
And the people that I see look as worried as can be
And it looks like they are wonderin' too

And I can't help but wonder
Where I'm bound, where I'm bound
Can't help but wonder where I'm bound


Apabila lagu tersebut bagusnya diputar ketika saya sedang melakukan perjalanan, maka usai dari situ seharusnya aku telah mendapatkan jawaban. Ulasan kecil yang menjawab segala hal tentang pertanyaanku sebelumnya. Sebuah pertanyaan tentang hidup yang sebagaimana sering dilontarkan oleh orang-orang. Ternyata jawabanya adalah;

 “Tidak ada jawaban!”

Benar sekali, pertanyaan tentang seperti apa saya esok hari dan bagaimana saya menjalani kehidupan ini sepertinya adalah pertanyaan yang mustahil untuk dijawab. Mark Manson sendiri mengistilahkanya dengan;

“Apabila kita sibuk bertanya apa makna kita hidup, maka kita tidak akan pernah menikmati kehidupan sama sekali!”

 Untuk pertanyaan yang jawabanya tidak ada, maka sepertinya ucapan terimakasih ini pantas untuk ditujukan pada Doris Day atas suaranya yang mempesona dan Jay Livingstone dan Ray Evans atas dedikasinya dalam menulis lagu yang indah dan hidup sepanjang zaman. Inilah dia, “Que Sera Sera” (Apa yang terjadi, terjadilah)



Begitulah saat ini jawaban yang saya punya. Akan tetapi saya tentu saja dengan kesadaran penuh sangat terbuka terhadap jawaban-jawaban baru. Manusia berubah dan terus berevolusi dalam bentuk satu ke bentuk lainya, sebagaimana yang saya yakini. Lingkungan yang ada di sekitar saya, orang-orangnya, dan kisah-kisah yang akan saya temukan kemudian akan merubah perspektif dalam memandang hidup dan masa depan. Mungkin terdengar naif dan tidak konsisten, akan tetapi begituah adanya hidup. Dan begitu jugalah proses yang dikenal sebagai pendewasaan.  Banyak perspektif dalam memandang hidup tidaklah membuat kita tumbuh menjadi orang yang picik, akan tetapi saling menghormati perbedaan.

Mungkin sebagian orang yang membaca ini bertanya-tanya:

“Apa yang saya ceritakan benar?”

Saya sambil duduk dengan tangan memegang keyboard akan menjawab:

“Mungkin iya, mungkin juga tidak! Intinya, saya tidak tahu karena sekecil apapun perasaan yang dmiliki oleh manusia terlau indah untuk dirangkaikan dalam kata-kata! Terjadi bias, itu hal yang biasa, akan tetapi paling tidak cerita ini berusaha mewakilinya secara jujur dan apa adanya, meskipun kesan yang ditampiklan terasa terlalu berlebihan dan didramatisir. Oleh karenanya ketika anda membacanya cukup tersenyum kecil tanpa diambil terlalu serius, baik lagi bila berpikir sambil merenung, karena itu cara kita menjadi tetap waras!”


Hippppp-sejenis salam perpisahan yang saya buat sendiri-Hippppp

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

3 Pendekatan Memahami Teknologi : Perkembangan Teknologi Informasi dan Pola Interaksi Remaja Masa Kini

Mengunjungi Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dalam Memaknai Nasionalisme

PENGGOLONGAN KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI DAN SALURAN DAN MEDIA KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI