Review Buku Anak Asli Asal Mapi Karya Casper Aliandu
Judul Buku: Anak Asli Asal Mappi
Penulis : Casper Aliandu
Penerbit : Indonesia Tera
Anak Asli Asal Mapi adalah kumpulan cerita Casper Aliandu selama mengajar di Mappi, Papua. Buku ini dipenuhi dengan percakapan antara Casper dan penduduk di sana, juga sedikit penambahan deskripsi tempat, budaya, serta komentar-komentar kecil dari penulis.
-----
Beberapa waktu lalu, setelah mendengar cerita kampung kami yang belum ada koneksi internet, teman saya berujar, “Kalau di Natuna saja begitu, apalagi di Papua!” Waktu itu saya membalas bahwa entah Natuna ataupun Papua, yang namanya daerah terpencil akan sama saja. Ternyata anggapan saya keliru setelah membaca buku cerita ini. Mappi dalam penuturan Aliandu mengingatkan saya pada kampung kami berpuluh-puluh tahun yang lalu, saat tidak ada listrik, anak sekolah jalan kaki dengan jarak yang jauh, serta makan sagu dan ubi kayu sehari-hari.
Buku cerita ini memposisikan Casper sebagai orang luar yang berinteraksi dengan penduduk setempat. Saya melihat ada dua kecenderungan ketika orang kota melihat sebuah desa. Kecenderungan pertama adalah melihat desa dengan kaca mata kasihan. Pandangan ini mengisyaratkan bahwa orang kota adalah superior yang lebih mapan, cerdas, dan berkemajuan. Di sisi lain orang desa adalah mereka yang miskin, masih terbelakang, dan perlu kebijaksanaan dari orang-orang kota demi menolong mereka.
Pandangan kedua melalui kacamata kebijaksanaan. Pandangan ini berangkat dari anggapan bahwa kota adalah tempat yang sumpek, sarang korupsi, kejahatan, hedonis, dan sebagainya, sedangkan masyarakat desa adalah orang-orang yang berbudaya, kaya moral, sederhana, serta bahagia.
Kedua cara ini, kasihan dan kebijaksanaan, tentu saja tidak dapat dikotak-kotakan dengan cara Aliandu melihat kedua tangannya yang satu adalah kiri dan yang satu adalah kanan, tidak akan pernah ada ruang diantara keduanya. Akan tetapi kacamata melihat desa ini seperti melihat pandangan hidup secara umum. Liberal dan konservatif.
Pandangan kasihan saya umpamakan liberal, sedangkan pandangan kebijaksanaan saya umpamakan konservatif. Akan tetapi sepengetahuan saya tidak ada yang Liberal seluruhnya ataupun Konservatif secara kaffah. Akan selalu ada ruang diantara keduanya. Seorang yang liberal dalam satu hal, bisa saja konservatif di hal lainnya, begitu pula sebaliknya. Akan tetapi tentu saja kita dapat melihat kecenderungan-kecendrungan yang kemudian dapat memberikan definisi di posisi mana seseorang itu berada.
Lalu bagaimana dengan buku Casper ini? Posisi mana dirinya berada? Pandangan saya bahwa ia sekali-kali melihat dengan kacamata kasihan, yaitu masyarakat Mappi adalah adalah masyarakat yang masih terikat pada kepercayaan mistis lama dan kesusahan dalam akses pendidikan serta ekonomi. Sedangkan di sisi lainnya lagi, ia melihat masyarakat Mappi adalah orang-orang yang kaya budaya, bersahaja, dan tentu saja bahagia. Lalu apabila ia tidak konservatif maupun liberal seluruhnya, dimana posisi Casper memandang masyarakat desa? Moderat barangkali. Dan cara inilah yang paling saya suka. Melihat sesuatu dengan cara dua sisi.
Karena buku ini adalah pertentangan antara dua pandangan; masyarakat kota dan desa, serta guru yang dinilai cerdas dan anak-anak perlu pengajaran, maka rasanya perlu membawa kita pada pengkajian dua definisi berikut, yaitu apa yang dimaksud dengan masyarakat desa dan kota? Apa yang dimaksud dengan kecerdasan?
Pada pandangan Islam, kota (Madinah) dinilai sebagai sebuah tempat atau kawasan dimana masyarakatnya menjunjung tinggi nilai kebaikan, kejujuran, kemanusiaan, dan tentu saja paling utama ketaatan pada Allah. Sebaliknya desa (qoryah) adalah tempat dimana masyarakatnya tidak bermoral dan ingkar daripada ajaran Tuhan. Dalam pandangan ini kota tidak dinilai dari banyaknya infrastruktur, gedung bertingkat, ataupun jumlah penduduk, melainkan nilai-nilai moral dan spiritual yang dijunjung oleh masyarakatnya. Jakarta yang besar dan ramai bisa saja disebut desa bila penduduknya dinilai tidak bermoral, sebaliknya Mappi yang terpencil bisa saja disebut sebagai kota bila penduduknya menjunjung tinggi nilai-nilai manusia yang baik.
Kedua adalah definisi kecerdasan. Casper memberikan kita pandangan yang sangat baik perihal kecerdasan di dalam bukunya ini. Di satu sisi dirinya mengajar anak-anak ilmu membaca dan menulis, akan tetapi anak-anak juga mengajarkannya tentang ilmu berburu dan memancing. Hal ini mengingatkan saya akan pengalaman Jared M. Diamond penulis “Guns, Germs and Steel: The Fate of Human Societies” selama di Papua Nugini. Ia berpandangan bahwa lingkungan membentuk manusia berpikir dan berperilaku, yang kemudian juga akan menentukan bentuk kesenian dan peradaban yang akan dibangun pada suatu tempat.
Berangkat daripada itu maka ada baiknya kita menganggap bahwa kecerdasan adalah kemampuan untuk memahami lingkungan sekitar, dapat beradaptasi demi keberlansungan kehidupan. Sebagai contoh akuntan di Jakarta akan memerlukan kecerdasan membaca, menulis, dan berhitung demi keberlansungan kehidupannya, sedangkan di Mappi, Papua seorang petani perlu kecerdasan menebang pohon sagu, mengubahnya menjadi tepung, dan kemampuan berburu burung demi keberlansungan hidupnya.
Selama ini kita telah melihat kecerdasan identik sebagai kemampuan untuk membaca, menulis, dan berhitung, agaknya karena kita melihat kecerdasan dari sudut pandang orang-orang kota, sehingga anak-anak yang lihai berenang, memanjat tebing, dan berburu di hutan tidak dinilai memiliki kecerdasan. Cara kita melihat kecerdasan saya kira sama dengan cara Barat melihat dunia. Maksud saya, apa itu manusia? Apa itu kebebasan? Apa itu negara maju? Apa itu negara berkembang? Dan sederet pertanyaan lainnya. Saya kira ketika bertanya seperti itu kita akan disodorkan definisi-definisi yang berangkat dari kepercayaan Barat melihat dunia dalam usaha pemahaman terhadap dunia keseluruhan.
Barat adalah dunia, dan dunia adalah Barat. Jakarta adalah Indonesia, dan Indonesia adalah Jakarta.
Komentar
Posting Komentar