Hubungan Latar Belakang Budaya terhadap Efektifitas Komunikasi Antar Pribadi di Kontrakan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Pendahuluan
    Komunikasi merupakan komponen yang dinilai esensial dalam kehidupan bermasyarakat. Orang yang tidak berkomuniaksi pada lingkungan sosialnya akan sulit untuk menempatkan diri pada lingkungan sosial. Deddy Mulyana (2000: 6) mengistilahkan sebagai manusia “tersesat”. Lebih jauh lagi, menurut Deddy Mulyana komunikasilah yang membantu manusia dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga dapat memperlakukan manusia lain secara beradab.

    Kendatipun komunikasi adalah hal yang lazim dipraktekan dalam keseharian, namun tidak semua proses komunikasi dapat dikatakan efektif. Ketidak berhasilan dalam berkomunikasi akan sangat berpengaruh terhadap interaksi sosial yang ada. Dengan melakukan komunikasi secara cerdas, maka proses pertukaran dan penerimaan pesan dapat berlansung secara tepat tanpa banyak noise. Ada juga yang menyatakan bahwa, komuniaksi akan berlansung secara efektif apabila komunikator berbicara atau berkomunikasi dengan bahasa yang dipahami oleh komunikanya (Shoelhi, 2015: 1)

   Pentingnya berkomunikasi secara cerdas juga diutarakan oleh Dina Artika Lubis dalam Jurnal Komunikologi Vol. (2), September 2006, hal 71-86

   Agar komunikasi antar-pribadi berjalan lancar dan menda-tangkan feedback yang diharapkan, maka pemberi maupun penerima pesan perlu memiliki kemampuan dan kecakapan komunikasi antarpribadi secara memadai, sehingga intensitas konflik, kecurigaan, kecemburuan sosial di dalam suatu perusahaan bisa direduksi atau dieleminir

   Meskipun demikian, keefektifan komunikasi tidak hanya dapat dinilai secara bahasa. Pada kenyataanya, dalam bahasa yang sama antara komunikator dan komunikan masih banyak terjadi noise. Beberapa gangguan tersebut dapat berupa faktor psikologis, polusi suara, maupun tingkat solidaritas sosial yang terjalin.


    Secara umum, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dan bahasa gaul, meskipun berasal dari latar belakang dan budaya mansing-mansing dan memiliki bahasa daerah. Meskipun begitu, memiliki satu bahasa yang sama dan diakui secara konsesus di komunan, tidak bearti permasalahan dan hambatan dalam komunikasi selesai. Kita tidak bisa mengkesamping adanya budaya-budaya bawaan dari asal daerah yang masih melekat pada individu, termasuk kebiasaan dalam berkomunikasi terhadap teman.

   Adanya perbedaan budaya tersebut, tentu juga mempengaruhi bagaimana gaya komunikasi tiap manusia. Mungkin, bagi orang yang tinggal di daerah pantai berkomunikasi dengan suara tinggi dianggap biasa, hal tersebut karena lingkungan fisik yang dihadapi dengan permasalahan berisiknya gelombang laut, sehingga apabila berbicara pelan tidak terdengar. Namun, tidak menjadi biasa dan terasa tidak sopan apabila dihadapi pada masyarakat yang tinggal di penggunungan dengan suasana yang terbiasa tenang.


picture: quipper

    Heffner (1997) juga membuat gaya komunikasi berdasarkan yang dikelompokkan oleh Mc Callister (1992) dan kemudian ditambahkan oleh Alloweri yaitu;

1. Passif style, Gaya individu yang menilai kehadiran orang lain lebih baik dari diri sendiri
2. Assertive Style, Gaya individu yang membela hak pribadi namun tidak melanggar hak orang lain
3. Aggressive Style, Gaya individu yang merasa dirinya superior, mau menang sendiri, mau benar sendiri, dan tidak mempertimbangkan hak-hak orang lain.

1. Gaya Komunikasi Pasif
    Adalah gaya komunikasi yang menghindari cara mengungkapkan perasaan dan pendapat secara terbuka. Individu tersebut akan menghindari terjadinya konfrotasi terhadap pihak lain. Orang yang berkomunikasi secara passif mungkin tidak terang-terangan merespon terhadap sesuatu yang menjengkelkan, buruk, dan tidak menyenangkan terhadap dirinya.

2. Gaya Komunikasi Agresif
   Gaya komunikasi agresif yang dilakukan individu umumnya akan selalu melibatkan manipulasi. Individu yang berkomunikasi secara agresif terbiasa berbicara dengan berani, lansung, mahir, dan melalui kata-kata/verbal.

3. Gaya Komunikasi Asertif
   Individu yang memiliki gaya komunikasi yang bersifat asertif akan bertindak tegas, percaya diri, dan sangat menghargai diri sendiri dan orang lain. Ketika ia berbicara akan terlihat tenang dan sangat jelas, bersikap jujur, dan lansung menuju pada persoalanya.
    Komunikasi gaya asertif terlahir dari harga diri yang tinggi, sehingga individu sangat menghargai dirinya sendiri. Kendatipun demikian, komunikasi gaya asertif juga tidak melanggar hak-hak komunikasi orang lain.
   Dengan menggunakan gaya komunikasi asertif akan membuat anda dan saya dapat memelihara diri sendiri, dan ini menjadi dasar pembentukan mental yang sehat. Hal ini sangat perlu untuk membangun relasi dan berkomunikasi terhadap orang lain.

4. Gaya Komuniakasi Pasif-Agresif
   Individu yang memiliki gaya komunikasi pasif-agresif merupakan campuran dari gaya komunikasi yang bersifat pasif dan agresif. Orang tersebut akan cenderung untuk mengungkapkan bahasanya secara halus, meskipun ia sebenarnya bersifat kasar di dalam hati. Orang seperti ini tidak bisa mengungkapkan komunikasinya terhadap orang yang dibenci, sehingga cenderung untuk melampiaskanya melalui barang-barang.

Baca juga: Pendalaman Komunikasi Lintas Budaya dan Agama dalam Mewujudkan Perdamaian Indonesia

      Hasil Analisa                                                                                                                 
 
   “You might not have though about this, but each day the decisions we make, the media we consume, and the relationships we experience can be enriched and explained by communication theory. Communication theory help us to understand other people and their communities....Perhaps most important, communication theory makes it easier to understand ourselves”
(West dan Turner, 2010:1)

   Begitulah yang dikatakan oleh West dan Turner dalam buku Introducing Communication Theory: Analysis and Application. Secara Umum, West dan Turner hendak mengtakan bahwa segala hal yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, terlebih lagi berinteraksi dapat dijelaskan dengan menggunakan teori komunikasi.

     Sebagai contoh, apabila kita sedang memilih acara televisi yang kita senangi mungkin dapat kita analisis menggunakan teori Uses and Gratifications. Contoh lain, ketika kita dan beberapa orang tidak setuju dengan apa yang diputuskan oleh pemimpin organisasi, namun hanya memilih diam, kita dapat menjelaskan fenomena tersebut berdasarkan teori spiral of silence. Begitu juga ketika anak kontrakan dari latar belakang dan gaya komuniaksi berbeda kita dapat menggunakan teori identity maupun konsep communications style yang telah disusun oleh Heffner untuk menjelaskanya. Namun secara spesifik, penulis akan lebih menekankan pada kajian teori Hefner, ketimbang membawa teori identitas sosial, ke dalam fenomena yang sedang dianalisis.

  Anak kontrakan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga merupakan anak-anak yang memiliki latar belakang agama yang sama, yaitu Islam. namun, mereka tetap memiliki perbedaan budaya yang di bawa dari daerah mansing-mansing. Mengingat akibat tidak adanya budaya yang dominan dalam komunitas kontrakan tersebut, maka tidak akan ada budaya yang mendominasi sehingga komuniaksi bisa berjalan dengan baik.


unisifm.com

   Apabila ada budaya yang mendominasi, maka komunikasi akan berlansung bagi sebagaian orang secara efektif, namun terasa kurang efektif apabila dilakukan terhadap teman kontrakan yang lain. Sebagai contoh, apabila sebuah kontrakan dihuni oleh mayoritas mereka yang berasal dari latar belakang budaya Jawa, maka komunitas dari luar Jawa akan sulit berkomunikasi karena tidak sesuai dengan bahasa keseharian mereka sehingga sulit untuk dipahami.

Baca juga : Persepsi Orang Jawa terhadap Cara Makan Orang Melayu 

    Model komunikasi orang-orang Jawa cenderung menggunakan model Passif-agresif, yang merupakan perpaduan dari dua model komunikasi Passif dan agresif. Kecenderungan ini akan menimbulkan efek positip terhadap orang Jawa dari luar, karena ia dinilai bersikap lebih sopan dan murah tersenyum. Sedangkan model Komunikasi yang digunakan oleh orang luar Jawa (seperti Padang, Madura, dan Sulawesi) bahasa yang digunakan terlihat lebih tegas.

    Dari ini, akan timbul stereotif pada budaya tertentu terhada gaya komunikasi individu dengan latar belakang berbeda. Ketika, teman kontrakan dihadapkan pada orang Jawa maka ia akan berpikir tentang orang Jawa yang lemah lembut,sehingga tidak perlu mengeraskan suara. Akan berbeda, jika berhadapan dengan teman kontrakan dari Medan, ia akan mencoba memaklumi dengan gaya komunikasi temanya.

   Dalam beberapa analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa Stereotif gaya komunikasi asal daerah akan melekat pada diri seseorang, meskipun tidak dapat digeneralisir pada setiap individu. Pada kenyataanya, ada kasus dimana orang Jawa berbicara lebih kasar daripada orang Sumatera. Namun, komunikasi yang efektif tentu saja terjadi apabila kita dapat menyesuaikan perbedaan dari gaya komunikasi lawan bicara.


Daftar Pustaka
Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Rosda
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Shoelhi, Muhammad. 2015. Komunikasi Lintas Budaya dalam Dinamika Komunikasi Internasional. Yogyakarta: Sembiosa Rekatama Media
West, Richard & Lynn H. Turner. 2010. Introducing Communication Theory: Analysis and Application. New York: McGraw-Hill
Dina Artika Lubis, Hubungan Antara Efektifitas Komunikasi Antarpribadi dengan Motivasi Kerja Karyawan PT MMT. Jurnal Komunikologi Vol. (2), September 2006, hal 71-86

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengunjungi Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dalam Memaknai Nasionalisme

3 Pendekatan Memahami Teknologi : Perkembangan Teknologi Informasi dan Pola Interaksi Remaja Masa Kini

PENGGOLONGAN KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI DAN SALURAN DAN MEDIA KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI