Mohajer Para [1]

Oleh: @jailaniansera

Jaymantri/pexels

Namanya Basimah, enam belas tahun, atau setidaknya begitulah ia memperkenalkan dirinya pertamakali padaku. Aku yakin itu bukan nama yang sebenarnya. Akan tetapi aku juga tidak mau bersusah payah memintanya berucap jujur, bagiku bukan itu yang paling penting. Pertamakali bertemu, Basimah kelihatan pucat, mukanya memar, dan bibirnya gemetar karena kedinginan. Selain itu mukanya yang kecokelatan tampak kusam dan perutnya keroncongan karena kelaparan.

“Malang sekali dirimu,” Kataku ketika bertemu denganya di perbatasan Timur Kota Cox’s Bazar. Aku yakin dirinya seperti kebanyakan orang, pengungsi dari Myanmar. Mencoba untuk hidup lebih lama dan mencoba keberuntungan di Bangladesh.

Ia menatapku. Matanya sayu dan raut mukanya seakan-akan hendak memohon. “Ku mohon, bawa aku. Selamatkan aku.” Katanya sambil menyeka perut dan menangis.

Aku melihatnya dalam-dalam di persimpangan gang kecil, tidak jauh dari bangunan tua yang kurang terawat itu. Lampu malam menimpa rambutnya yang bercahaya keperakan. Aku tahu, perempuan ini baru saja diperkosa. Entah karena rasa kasihan atau mungkin dapat aku manfaatkan penderitaanya, aku membawa Basimah bersamaku. Memberinya makan, tempat tinggal, dan juga membiarkan Basimah mencuci badanya yang terlihat kotor. Dirinya kelihatan tidak menyukai tubuhnya lagi yang menurutnya seperti najis yang tidak bisa hilang meski disikat berkali-kali dengan kawat.

“Kau tahu bukan, ini tidak gratis? Maksudku, kau kelihatan cukup cantik, meskipun tentu saja orang-orang Rohingya beharga murah di sini. Tapi paling tidak kau lumayan manis.” Kataku padanya memperhatikan bibir yang merona itu.

“Maksud nyonya?”

“Kau bisa menghasilkan uang.”

“Begitu.”

“Dengar, aku bukan orang jahat! Jika kau tidak bersedia, kau boleh pergi. Akan tetapi bila kau mau, kau bisa tinggal di sini.” Jelasku memberinya pilihan. “Hanya melayani beberapa pria dan merogeh kocek mereka. Pekerjaan yang mudah andai kau mau mencobanya.”

Ia menatap datar dengan pandangan kosong. “Tidak mengapa, lagipula pilihan apa yang aku buat? Seluruh keluargaku mati kecuali adikku.” Katanya lirih.

“Dimana adikmu?” Kataku yang secara tulus menyimpan simpati padanya.

“Berpisah ketika akan mengungsi ke sini. Ku rasa ia sama matinya dengan bapak dan ibu.” Kenangnya sambil menahan air mata.

“Kau bisa menangis bila kau mau.” Kataku sambil membiarkan Basimah menyandarkan tubuhnya padaku. Setelah itu ia sering kali menangis untuk beberapa bulan. Terlebih pula setelah melayani laki-laki satu malam di hotel melati ataupun gang-gang kecil sempit yang kotor dan gelap.

Akan tetapi satu tahun ini aku tidak pernah lagi melihatnya menangis. Sepertinya Basimah mulai menikmati kehidupanya sebagai wanita penggoda. Jikapun tidak, air matanya tentu sudah kering sehingga tidak menyisakan apapun lagi kecuali bayangan-bayangan lelaki yang menidurinya tiap malam.

“Aku membaca berita tadi sore.” Kataku padanya di bawah lampu yang berbinar terang di sudut Jalan Mohajer Para. Ia menatapku dengan mata bulat dan bibir dihiasi lipstik merah.

“Aku benci berita!” Kata Basimah.

“Ada petisi untuk mencabut nobel Aung Suu Kyi.”

“Baguslah.” Komentarnya tenang dan tidak peduli. Lalu ia menatapku sekali lagi, membiarkan angin malam mengibaskan rambutnya dengan tenang. “Lagipula ia tidak pantas disandingkan dengan Gandhi, atau mother teresa.” Tambahnya sambil menarik lenganku sepanjang jalan.

Aku tersenyum-senyum saja. Saat ini kami akan bertemu seorang pria yang memesan jasa Basimah untuk satu malam.

[1] Cerpen ini terinspirasi dari laporan investigasi BBC dan Sentinel Foundation di Bangladesh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGGOLONGAN KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI DAN SALURAN DAN MEDIA KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI

3 Pendekatan Memahami Teknologi : Perkembangan Teknologi Informasi dan Pola Interaksi Remaja Masa Kini

Fungsi dan Kedudukan Hadis dalam Al-Qur'an