Diperbolehkanya Pengangkatan Menteri dari Kalangan Profesional tanpa Memperhatikan Pendidikan


Latar Belakang
lynda.com

    Kita ketahui bahwa dalam melakukan kinerjanya, maka Presiden Republik Indonesia dibantu oleh menteri-menteri. Hal ini sesuai dengan bunyi UUD 1945 pasal 17 ayat 1 yang menyatakan bahwa presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Kemudian pada ayat berikutnya (2) ditambahkan pula, bahwa pengangkatan dan pemberhentian menteri negara dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia, sehingga hal tersebut menjadi hak propogatif presiden. Hanya saja, terjadi pro dan kontra ketika seorang presiden mengangkat menteri dari kalangan profesional namun tidak memiliki latar pendidikan yang memadai.

    Sebagai contoh kongkrit pada masa pemerintahan kabinet Kerja yang dipimpin oleh Jokowi-JK. Dalam kabinetnya, presiden Jokowi mengangkat beberapa menteri yang tidak memiliki latar pendidikan yang tinggi, namun memiliki pengalaman yang cukup dalam bidang atau profesi yang ia tempati. Salah satu yang menuai kontroversi dari pengangkatan menteri tanpa memperhatikan jenjang pendidikan adalah pengangkatan menteri KKP, Pudji Astuti.

    Seperti kita pahami, bahwa Pudji Astuti merupakan salah seorang pengusaha sukses Indonesia yang bergerak di bidang perikanan namun tidak memiliki pendidkan yang tinggi. Pendidikan Menteri Susi hanya duduk di bangku SMU, tanpa menyelesaikan. Sehingga, boleh dikatan menteri Susi hanya memiliki ijazah SMP namun dapat membekali dirinya menjadi menteri.

   Hal seperti ini merupakan sesuatu yang baik, mengingat bertapa berpengalaman Menteri Susi dalam hal perikanan. Apakah, dengan tidak kuliah tinggi ataupun lulusan luar negeri, maka seseorang yang memiliki kemampuan menjadi menteri tidak bisa memimpin kementrian?


Pengertian Profesional dan Pendidikan

iicv.net

   Menurut Kamus Ilmiah Populer (Widodo, 2001)  profesional berhubungan dengan keahlian. Selain itu profesional juga dapat diartikan sebagai ahli atau terpelajar. Dari pengertian tersebut, dapat kita artikan bahwa profesional memiliki kaitan erat dengan suatu bidang tertentu yang ia tekuni, lalu ia telah ahli dan sangat mengerti tentang bidang tersebut.

    Definisi selanjutnya adalah mengenai pendidikan. Secara umum pendidkan dapat dimaknai sebagai pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari generasi satu ke generasi berikuitnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi dibawah bimbingan orang lain.

   Ada tiga jenis pendidikan yang dapat diklasifikasi, yaitu pendidikan formal, informal, dan non formal. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang didapat dari bangku sekolah, pendidikan informal adalah pendidikan di yayasan yang ada di tengah masyarakat seperti MDA, TPA, TPQ, TBM, dan lain-lainya. Sedangkan pendidikan non formal adalah pendidikan yang dapat terjadi di dalam keluarga tanpa ada suatu lembaga yang menaunginya.

   Namun, apabila kita bawa pendidikan dalam ranah perdebatan pengangkatan menteri melalui kalangan profesional, maka pendidikan tidak bisa mencangkup ketiga aspek tersebut. Pendidikan yang dimaksud di sini, hanyalah berupa pendidikan formal. Yaitu pendidikan yang dimulai ketika SD hingga pasca sarjana.

Pengangkatan Menteri dari Profesional

inspireleaders.com.ph

   Pengangkatan menteri, seperti telah pemukalah singgung di awal pembahasan merupakan hak propogatif presiden. Jadi, presiden berhak mengangkat siapapun menteri yang telah diusungnya dan dianggap mampu untuk mengepalai departemen kementerian tersebut. Sehingga, ketika presiden mengangkat menteri tanpa memperhatikan pendidikan diperbolehkan.

    Hanya saja, untuk memperkuat argument tersebut, maka pemukalah menyampaikan beberapa poin-poin penting yang akan membantu pembaca memahami. Alasan, kenapa pengangkatan menteri dari kalangan profesional dapat dibenarkan walaupun tidak memperhatikan pendidikan formal yang ia miliki.

1. Sejalur dengan Revolusi Mental Jokowi-JK

    Penulis menerima baik program yang dicanangkan oleh pemerintah Jokowi-JK yaitu revolusi mental. Hal ini perlu mengingat bahwa pendidikan di Indonesia saat ini telah gagal menciptakan mental-mental yang tangguh di kalangan muda. Hal tersebut dapat dilihat dari kebiasaan mencontek, sikap inlander, konsumerisme, dan permasalahan lainya.

   Pengangkatan menteri tanpa melalui pendidikan yang tinggi, bagi pemukalah merupakan sesuatu yang revolusioner. Hal tersebut dinilai sebagai kebijakan yang berani di tengah masyarakat Indonesia yang selalu menganggap bahwa orang berpendidikan tinggi merupakan orang yang pasti memiliki keahlian.

   Dikotomi seperti inilah yang ingin diruntuhkan oleh Presiden Jokowi. Pada kenyataanya memang pendidikan tidak hanya berbicara pada ranah kampus dan kelas. Tetapi pendidikan juga melihat pada aspek pengalaman. Sehingga, menteri yang memiliki pengalaman yang memadai terhadap suatu bidang dan mampu mengepalai suatu departemen kementerian, tidak ada alasan bagi kita untuk menolaknya.

2. Prestasi bukan hanya pendidikan

    Prestasi yang dimiliki oleh seseorang tentunya membuktikan bahwa ia memiliki kemampuan untuk bidang tertentu. Sedangkan pendidikan belum bisa membuktikan bahwa oareng tersebut mampu dalam bidang yang ia tekuni. Oleh karena itu, orang yang memiliki prestasi dan keahlian dalam hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting.

   Tidak ada alasan yang dikira logis dapat mejawab alasan tidak bolehnya mengangkat menteri jika tidak mempunyai pendidikan yang tinggi. Bersama-sama kita pahami, bahwa banyak orang yang memiliki segudang prestasi namun tidak sekolah tinggi. Selain itu, banyak orang yang memiliki sekolah tinggi namun minim akan prestasi.

3. Syarat cukup dan Syarat Perlu

    Ada dua hal yang ingin pemukalah tekankan dalam permasalahan ini, yaitu syarat cukup dan syarat perlu untuk menjadi menteri. Menurut Nararya (2014) Syarat cukup merupakan kepentingan primer untuk menjadi seorang menteri, sedangkan syarat perlu merupakan hal sekunder yang dapat dipertimbangkan.

   Syarat cukup dalam hal ini dimaksudkan dengan kinerja, prestasi, pencapaian, dan termasuk keahlian merupakan kualifikasi utama yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan pengangkatan Menteri. Sedangakan tingkat pendidikan hanya berada di bagian syarat perlu, yaitu syarat sekunder dalam pengangaktan menteri. Sehingga, kita sepakat bahwa keahlian berada di posisi lebih tinggi dari pendidikan.

   Hal seperti ini dapat dimaklumi, karena orang yang memiliki prestasi lebih tinggi pastinya memiliki kemampuan yang memumpumi di bidang tersebut. Sedangkan, di sisi lain banyak orang yang memiliki jenjang pendidikan yang tinggi namun minim prestasi.


Kesimpulan

vegaslegalmagazine.com

    Banyak faktor logis diperbolehkanya pengangkatan menteri tanpa harus memperhatikan pendidikan, namun lebih melihat pada profesionalitas. Hal ini dapat dimaklumi bahwa pendidikan tidaklah hanya dimknai sebagai pendidikan yang tinggi dari universitas. Pada kenyataanya orang yang memiliki keahlian juga sekaligus telah memiliki kualifikasi pendidikan, hanya saja melalui cara pengalaman dan lansung dari lingkungan.

  Selain itu, banyak juga orang yang lulus dari Pengguruan Tinggi namun minim akan prestasi. Sedangkan orang yang telah ahli dalam suatu bidang dan dinyatakan sebagai profesional, tentunya ia telah memiliki segudang prestasi untuk hal seperti itu.

Rekomendasi

   1. Perlu kejujuran dalam melakukan segala tindakan, oleh karena itu selalulah berpegang teguh dalam hal tersebut.
   2. Perdebatan bukanlah jalan untuk mencari kemenangan dan eforia sesaat, tetapi jadikan perdebatan sebagai proses untuk memperkuat retorika dan memperluas hazanah pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA
Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Rosda
Widodo. 2001. Kamus Ilmiah Populer Dilengkapi EYD dan Pembentukan Istilah. Yogyakarta: Absolut
Hukum.unsrat.ac.id diakses pada tanggal 25 November 2016 16:17

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGGOLONGAN KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI DAN SALURAN DAN MEDIA KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI

3 Pendekatan Memahami Teknologi : Perkembangan Teknologi Informasi dan Pola Interaksi Remaja Masa Kini

Fungsi dan Kedudukan Hadis dalam Al-Qur'an