Sebelum Malaikat Datang

Oleh : Jailani Ansera

Michel Widdel/pexels

Hari ini Subroto ditemukan dalam keadaan meninggal dunia. Terlihat berkucur darah di pinggir gang kecil, tidak jauh dari kedai minuman keras tempat ia biasa nongkrong dengan kawan-kawan karib. Sepertinya seseorang menusuk Subroto ketika ia sedang mabuk dan sempoyongan. Laki-laki bertubuh tinggi itu memiliki tato naga di bahu kanannya dan gambar seorang perempuan di sebelah kiri.

“Ini adalah istriku, aku menggambarnya karena aku mencintainya.” Kata Subroto padaku beberapa tahun lalu memamerkan bahu kirinya ketika kami pertama kali bertemu di kedai arak yang baunya seperti air kencing itu. “Akan tetapi sekarang ia pergi. Jauh entah kemana meninggalkanku sendiri. Kabarnya ia hidup di Jakarta dengan suami barunya. Orang kaya dan punya uang banyak, kau tahukan, bagaimana tingkah-tingkah orang kaya? Mereka dapat mengambil semuanya!” Serunya pula dengan semangat seolah-olah sedang membicarakan pertandingan Manchester City melawan Liverpool dan ia memenangkan taruhan.

“Kau tidak merebutnya lagi?” Tanyaku iseng.

“Jika aku tahu rumahnya, aku akan membunuh laki-laki itu, lalu membawa pulang Kinasih.” Katanya sambil menambah satu botol arak lagi. Kemudian ia tersenyum, tertawa, dan menyanyi. Aku mengerutkan dahi sambil mengisap sebatang rokok. Aku tahu ia tidak serius dan memang begitulah kenyataanya. Sampai matinyapun, Subroto tidak pernah membawa pulang Kinasih. Hanya omong kosong yang dibawanya pulang larut-larut di rumah ibunya yang tua.

Hari ia mati adalah Kamis malam sehingga baru dimakamkan pada Jum’at siangnya. Cuaca panas dan matahari terasa membakar kulit. Sedangkan angin yang behembus di sekitar pemakaman itu tidak terasa menyegarkan sama sekali, malah membawa debu-debu beterbangan yang memenarkan mata.

Aku duduk di persimpangan, membiarkan orang-orang yang mengantarkanya ke kuburan berjalan lebih dulu. Orang-orang ku dengar mulai berbisik ria sambil membicarakan sesuatu.

“Panas sekali hari ini, aku yakin mataharipun tahu bahwa ia masuk neraka.”

“Tentu saja, hanya di situlah tempatnya.”

“Paling tidak berkurang satu pembuat onar di kampung sini.”

“Seharusnya ia mati lebih cepat.”

“Sayang sekali, ia tidak tobat untuk dosa-dosanya.”

“MasyaAllah akhi, jangan gibah!”

Ketika matahari sedikit menggeser ke Barat, orang-orang pulang ke rumah mansing-mansing. Hanya sunyi dan suara burung yang riuh rendah menghiasi pemakaman itu. Tidak ada yang menangisi kepergianya, bahkan ibunya yang tua renta juga tidak. Hanya lapalan syukur yang menghiasi kepergianya.

Aku masih tinggal di pemakaman. Seorang diri di tanah kuning yang memiliki aroma bunga-bunga dan daun pandan. Sambil menyalakan rokok, aku menyandar di tanah kuning itu.

“Kawan,” Kataku mencoba untuk menghibur Subroto yang telah tiada. “Katanya malaikat akan datang setelah tujuh langkah orang meninggalkan tempat ini. Aku akan pergi sedikit lebih lama agar kau tenang sebelum malaikat datang. Meskipun Cuma sebentar saja.”

Tidak ada jawaban, lagi pula aku juga tidak mengharapkan jawaban. Malah aneh jika Subroto tiba-tiba menjawab obrolanku. Hal penting yang aku lakukan adalah menghabiskan sebatang rokok dan meninggalkan Subroto sendirian ketika sore menjelang. Setelah itu kami hidup, kami minum di kedai, dan mabuk. Seolah-olah hari ini berlalu tanpa terjadi apapun.

***

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGGOLONGAN KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI DAN SALURAN DAN MEDIA KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI

3 Pendekatan Memahami Teknologi : Perkembangan Teknologi Informasi dan Pola Interaksi Remaja Masa Kini

Fungsi dan Kedudukan Hadis dalam Al-Qur'an