Review Buku Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari? Karya Kiki Sulistyo

 Judul : Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?

Penulis: Kiki Sulistyo

Penerbit: Basa Basi

Cetakan : l, Mei 2017

Halaman: 92 hal.




“ Ampenan, Apalagi yang Kau Cari?” adalah kumpulan puisi Kiki Sulistyo selama sepuluh tahun. Di dalam buku yang terbilang tipis ini, Kiki berusaha untuk melihat Ampenan, sebuah kota yang berada di pulau Lombok dari sudut pandang seorang anak yang mengingat masa lalunya. Dapat dibilang bahwa kumpulan puisi ini adalah refleksi dari penulis dalam usaha untuk melihat Ampenan secara dekat dan personal.

Masa lalu yang ada di Ampenan tidak dilihat oleh Kiki Sulistyo sebagai ungkapan rasa kesedihan yang mendalam akan kehilangan, melainkan melankolis yang mengerikan dan gelap. Di kumpulan puisinya ini, kita tidak diajak pada tempat masa kecil yang penuh permainan, kehangatan masakan ibu, atau peluh bapak yang bersahaja. Tidak, kenangan seperti novel Laskar Pelangi ala Andrea Hirata itu terasa sangat asing dalam kumpulan puisi “Di Ampenan Apa Lagi yang Kau Cari?”. Kenangan Kiki Sulistyo adalah kenangan akan hasrat membalas dendam, cinta terlarang, kekerasan pada anak, juga mimpi-mimpi bunuh diri.

Kadang kami membenci paman. Kami percaya paman sejenis jahanam

Dan tempat yang pantas untuknya adalah dalam mampan panas

...

Kami ingin paman dipatuk ular saat sedang duduk di ladang

...

Tapi itu terjadi hanya dalam bayangan kami. Sampai kelak paman mati

Diam-diam kami memendam sesal, kenapa bukan kami yang memberi ajal

-rencana membunuh paman

Bibiku yang jahat, masih sehat, hidup menderita

Kalau dia mati, aku harap dia dikubur di sana

-kubur dende

Di baris terakhir ramalan ini, tertulis siapa yang mesti mati

Alhasil, aku percaya mengapa di kemudian hari

Aku sering melihat paman bunuh diri

-ramalan sirih pinang

Kendatipun penyair berhasil menghadirkan puisi yang bernuansa derah dengan Bahasa Indonesia, saya kira puisi-puisi KiKi Sulistyo tetap saja terasa sangat personal. Karena sifatnya yang sangat personal inilah, maka bagi sebagian orang akan merasakan kesulitan untuk terhubung dengannya. Sebagai pembandingan saja, Ampenan dalam kenangan penulis adalah kota kecil yang terdapat bioskop tua, ladang-ladang, dan juga pemandangan lain yang sangat melekat di Kota Ampenan. Sedangkan pengalaman itu sangat jauh bagi saya yang berasal dari Serasan, Natuna yang dekat terhadap laut, pantai, hutan, dan sejenisnya. (Jangan pernah berharap punya bioskop di Serasan)

Oleh karenanya saya mengira dalam menelusuri setiap sudut-sudut Ampenan mungkin akan menjadi perjalanan yang sangat asing bagi kebanyakan orang. Pada tempat yang sama sekali asing didengar tersebut, pembaca akan sangat mudah sekali untuk tersesat dalam usaha untuk memahami makna sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh penulis dalam setiap puisinya. Akan tetapi kesulitan dalam memahami puisi-puisi ini telah disiasati oleh penulis dengan memberikan peta kepada pembaca tentang apa dan bagaimana Ampenan itu di dalam halaman awal buku ini. Pengetahuan singkat tentang Ampenan yang diberikan oleh penulis sangat berguna bagi pembaca untuk memasuki alam Ampenan dalam benak penulis.

 Selain itu saya juga sangat mengagumi cara Kiki Sulistyo dalam menghadirkan puisinya. Pililahan kata terbilang lugas, apa adanya, namun disertai metafora yang sangat menyenangkan untuk di cerna. Sebagaimana beberapa contoh puisinya di bawah ini:

Kalau pasir dijadikan sisir

Kupenuhi rambutku dengan zikir

-pantai ampenan

Aku telah lupa nama-nama

Sebab waktu serupa palu

Memukul ingatan dimana-mana

-Sekolah dasar nomor lima

Dua hal inilah, penjelasan tentang Ampenan di muka dan puisi ditulis dengan bahasa yang lugas, membuat saya sangat menikmati perjalanan masa lalu yang ditawarkan oleh Kiki Sulistyo.

Bagi saya sendiri, puisi ini menghadirkan perjalanan yang menyenangkan menuju sebuah tempat yang baru, akan tetapi tanpa menghadirkan makna yang kuat ataupun labirin kata yang mengikat, pembaca akan mudah sekali untuk menatap sekilas ke Ampenan, lalu berlalu melupakannya. Saya kira kembali lagi pada permasalahan awal tadi, puisi ini terasa sangat personal dan sulit untuk terhubung dengan diri saya secara pribadi. Secara umum dapat dikatakan bahwa kenangan Ampenan adalah milik Kiki Sulistyo, bukan saya.

Meskipun begitu, kehadiran kumpulan puisi “Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?” ini terbilang penting keberadaanya dalam ranah sastra di Indonesia. Saya melihat bahwa buku ini ada dalam usaha memberikan suara-suara daerah terdengar dan menjadi perbincangan masyarakat luas. Selain itu buku ini mungkin juga menjadi pintu bagi orang-orang yang ingin memahami sosial dan budaya masyarakat Sasak dan Ampenan secara spesifik.

Menutup komentar saya tentang buku yang sangat menarik ini, saya ingin mengutip sepenggalan puisi karya Kahlil Gibran:

Kenangan itu bagai daun gugur yang berbisik pada angin, lantas tidak terdengar lagi

-Kujemput kebahagiaanku


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGGOLONGAN KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI DAN SALURAN DAN MEDIA KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI

3 Pendekatan Memahami Teknologi : Perkembangan Teknologi Informasi dan Pola Interaksi Remaja Masa Kini

Fungsi dan Kedudukan Hadis dalam Al-Qur'an